Latest News

Sunday, July 16, 2017

“Yang jatuh di tanah berbatu-batu”

“Yang jatuh di tanah berbatu-batu”



Mengenai kategori yang kedua kita membaca:
“Yang jatuh di tanah yang berbatu-batu itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menerimanya dengan gembira, tetapi mereka itu tidak berakar, mereka percaya sebentar saja dan dalam masa pencobaan mereka murtad.”
Apakah orang yang termasuk dalam kategori ini percaya? Jawaban Tuhan adalah ya, mereka percaya. Mereka “percaya sebentar saja”, kata Tuhan. Jadi, kita dapat melihat dengan jelas bahwa iman mengandung dimensi waktu. Dengan kata lain, fakta bahwa seseorang percaya tidak selalu berarti bahwa ia akan percaya untuk seumur hidupnya. Ia mungkin percaya tetapi percayanya hanya “sebentar saja”. Setelah yang “sebentar” itu berlalu, ia pun tidak lagi percaya, seperti yang terjadi pada orang-orang dalam perumpamaan yang termasuk dalam kategori ini. Mereka memulai dengan baik, namun setelah “percaya sebentar saja”, ketika mengalami pencobaan atau penganiayaan karena Firman (Markus 4:7) mereka pun murtad. Banyak sekali contoh yang bisa kita pikirkan untuk kategori ini: ada orang yang mendengarkan Firman, menerimanya, lalu dengan bersemangat membagikannya kepada kerabat serta teman-temannya, tetapi orang-orang kemudian menolak pemberitaan itu bahkan menentang mereka. Alih-alih bertahan dengan menanggung stigma yang diberikan oleh mereka, orang itu malah menyerah dan meninggalkan imannya. Ada juga orang yang memulai dengan penuh sukacita. Lalu, datanglah pencobaan (pencobaan bisa muncul dalam berbagai bentuk) dan mereka menyerah, atau mungkin ada orang yang menyerah hanya karena merasa tersinggung oleh teguran dari Allah atau hamba-hamba-Nya. Orang-orang ini pernah percaya, tetapi mereka tidak lagi percaya. Sesungguhnya, kata yang diterjemahkan “murtad” di sini adalah kata Yunani “aphistemi”, yang artinya “menarik diri dari; murtad, ingkar” (Kamus Vine). Jadi, ya, mungkin saja orang yang percaya, ketika mengalami pencobaan dan penganiayaan karena Firman, mereka murtad, menarik diri dari imannya, mengingkari imannya. Inilah yang terjadi dengan kategori kedua dalam perumpamaan tentang penabur. Allah pernah menjadi pilihan mereka namun mereka menarik diri dari-Nya, mereka meninggalkan imannya.
Sekarang, pertanyaan yang penting adalah: jika orang-orang ini tidak kembali dan bertobat, apakah mereka akan selamat? Bila kita percaya kepada doktrin yang mengatakan bahwa cukuplah bagi seseorang untuk percaya, sekalipun percayanya sebentar saja, orang itu pasti tetap selamat, terlepas dari apa yang akan terjadi dengan imannya di kemudian hari, maka jawaban atas pertanyaan di atas adalah ya, mereka akan diselamatkan karena mereka pernah percaya. Namun masalah dengan pandangan ini adalah diabaikannya fakta bahwa iman bukanlah sesuatu yang statis, bukan sesuatu yang karena kita pernah memilikinya, selamanya tidak akan pernah kita tinggalkan. Iman mengandung dimensi waktu. Dan, ketika orang meninggalkan imannya, percaya hanya sebentar saja, mereka pun kehilangan apa yang telah dijanjikan kepada mereka ketika mereka percaya, yaitu keselamatan, hidup yang kekal. Karena sesungguhnya, keselamatan bukan hanya karena kasih karunia, tetapi “karena kasih karunia oleh iman”. Kasih karunia adalah bagian Allah, dan iman adalah bagian kita. Kedua persyaratan harus dipenuhi dan Allah selalu melakukan bagian-Nya. Orang yang meninggalkan imannya, ia pun akan kehilangan apa yang dapat ia peroleh melalui imannya, yaitu janji keselamatan. Ada banyak ayat dalam Perjanjian Baru yang menjelaskan tentang hal ini dan tujuan buku ini adalah untuk memaparkannya.
Banyak orang mencoba menjelaskan ayat-ayat di atas dengan mengatakan bahwa orang-orang yang termasuk dalam kategori kedua dalam perumpamaan penabur sebenarnya bukan benar-benar orang percaya, karena menurut mereka, apabila mereka benar-benar orang percaya, mereka pasti tidak akan pernah murtad. Tetapi, pandangan ini jelas bertentangan dengan apa yang Allah sendiri katakan ketika Ia menjelaskan arti perumpamaan ini. Menurut Dia: “Yang jatuh di tanah yang berbatu-batu itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menerimanya dengan gembira, tetapi mereka itu tidak berakar, mereka percaya sebentar saja dan dalam masa pencobaan mereka murtad.” Orang-orang ini mendengar Firman dan sama seperti Anda dan saya: mereka menerimanya dengan gembira. Dan mereka percaya. Tuhan tidak mengatakan bahwa mereka pura-pura percaya, juga tidak mengatakan bahwa mereka hanya berpura-pura menerimanya dengan gembira. Sebaliknya, iman mereka pada awalnya murni dan nyata. Namun, iman itu tidak bertahan. Mereka percaya tetapi hanya sebentar saja. Jadi, masalahnya dengan orang-orang ini adalah durasi dari iman mereka, dan bukan apakah mereka memiliki iman pada mulanya, karena seperti yang kita baca, mereka benar-benar percaya, TETAPI hanya “sebentar saja”.
Mungkin hal ini dapat menjelaskan kekhawatiran Paulus tentang keadaan iman jemaat-jemaat di Tesalonika yang mengalami penganiayaan dan penindasan (2 Tesalonika 1:4). Karena Paulus berkata kepada mereka:
1 Tesalonika 3:1-8
Kami tidak dapat tahan lagi, karena itu kami mengambil keputusan untuk tinggal seorang diri di Atena. Lalu kami mengirim Timotius, saudara yang bekerja dengan kami untuk Allah dalam pemberitaan Injil Kristus, untuk menguatkan hatimu dan menasihatkan kamu tentang imanmu, supaya jangan ada orang yang goyang imannya karena kesusahan-kesusahan ini. Kamu sendiri tahu, bahwa kita ditentukan untuk itu. Sebab, juga waktu kami bersama-sama dengan kamu, telah kami katakan kepada kamu, bahwa kita akan mengalami kesusahan. Dan hal itu, seperti kamu tahu, telah terjadi. Itulah sebabnya, maka aku, karena tidak dapat tahan lagi, telah mengirim dia, supaya aku tahu tentang imanmu, karena aku kuatir kalau-kalau kamu telah dicobai oleh si penggoda dan kalau-kalau usaha kami menjadi sia-sia. Tetapi sekarang, setelah Timotius datang kembali dari kamu dan membawa kabar yang menggembirakan tentang imanmu dan kasihmu, dan bahwa kamu selalu menaruh kenang-kenangan yang baik akan kami dan ingin untuk berjumpa dengan kami, seperti kami juga ingin untuk berjumpa dengan kamu, maka kami juga, saudara-saudara, dalam segala kesesakan dan kesukaran kami menjadi terhibur oleh kamu dan oleh imanmu. Sekarang kami hidup kembali, asal saja kamu teguh berdiri di dalam Tuhan.
Hanya dalam beberapa baris tulisannya, dua kali Paulus berbicara tentang kegundahan hatinya. Ia tahu bahwa orang-orang percaya di Tesalonika mengalami penganiayaan dan penindasan, dan ia tidak tahan lagi ingin segera mengetahui bagaimana keadaan iman mereka. Apakah mereka tetap kuat di dalam Tuhan atau tidak? Bagaimana kabar tentang iman mereka? Baik atau buruk? Inilah pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya dan Paulus tidak tahan lagi ingin segera mendengarkan jawabannya melalui Timotius. Jadi jelas di sini bahwa iman bukan sesuatu yang tidak dapat berubah; bukan sesuatu yang sekali kita memilikinya, pasti akan kita miliki selamanya. Karena jikalau demikian, tentu Paulus tidak perlu khawatir. Karena jikalau demikian, mereka yang pernah memiliki iman, pasti akan tetap memiliki iman itu, sekalipun mengalami penganiayaan dan penindasan. Tetapi tidak demikian yang terjadi. Tujuan Iblis, si penggoda adalah untuk menggoncangkan iman kita, membuat hati kita merasa terluka oleh Allah dan umat-Nya dan membuat kita meninggalkan iman kita. Intinya, tujuan Iblis adalah untuk menelan kita (1 Petrus 5:8). Fakta bahwa kita berdiri teguh sebelum mengalami penganiayaan dan penindasan, tidak selalu berarti bahwa kita akan melakukan hal yang sama ketika mengalami penganiayaan dan penindasan. Kita harus memiliki ketetapan hati. Allah akan menguatkan dan memegang kita; tetapi kita pun harus berpegang teguh; kita harus memutuskan bahwa kita mau tetap tinggal bersama Dia, untuk tetap percaya, apa pun yang terjadi. Ada orang yang melakukannya, ada pula yang tidak. Mereka yang tidak melakukannya, mereka pun meninggalkan iman mereka! Mungkin mereka tidak mengatakannya secara terbuka, namun dalam realitasnya mereka tidak lagi peduli. Saya percaya kita mungkin pernah menyaksikan orang-orang yang seperti itu. Sekarang, mari kita melihat bagaimana dengan orang-orang yang termasuk dalam kategori ketiga dalam perumpamaan penabur.

Perumpamaan tentang Penabur

Perumpamaan tentang Penabur



Untuk memulai bab ini, mari kita membaca perumpamaan terkenal tentang penabur yang tercatat di dalam tiga dari keempat kitab Injil. Di sini kita akan membaca dari kitab Lukas:
Lukas 8:5-8, 11-15
”Adalah seorang penabur keluar untuk menaburkan benihnya. Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu diinjak orang dan burung-burung di udara memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, dan setelah tumbuh ia menjadi kering karena tidak mendapat air. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, dan semak itu tumbuh bersama-sama dan menghimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik, dan setelah tumbuh berbuah seratus kali lipat." Setelah berkata demikian Yesus berseru: "Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!"…….Inilah arti perumpamaan itu: Benih itu ialah firman Allah. Yang jatuh di pinggir jalan itu ialah orang yang telah mendengarnya; kemudian datanglah Iblis lalu mengambil firman itu dari dalam hati mereka, supaya mereka jangan percaya dan diselamatkan. Yang jatuh di tanah yang berbatu-batu itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menerimanya dengan gembira, tetapi mereka itu tidak berakar, mereka percaya sebentar saja dan dalam masa pencobaan mereka murtad. Yang jatuh dalam semak duri ialah orang yang telah mendengar firman itu, dan dalam pertumbuhan selanjutnya mereka terhimpit oleh kekuatiran dan kekayaan dan kenikmatan hidup, sehingga mereka tidak menghasilkan buah yang matang. Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan."
Dalam perumpamaan ini, disebutkan semua yang mungkin terjadi sebagai hasil ditaburkannya benih Firman Allah. Seperti yang kita baca, pada kategori yang pertama, benih Firman itu tidak masuk ke hati si penerima. Mereka tidak memercayainya. Sebaliknya, orang yang termasuk dalam kategori kedua dan ketiga menerima Firman itu tetapi keduanya tidak menghasilkan buah. Mengapa? Kita akan melihat apa sebabnya dalam pembahasan berikut. Orang kategori keempat adalah satu-satunya yang mendengarkan Firman, menerimanya, dan mengeluarkan buah. Fokus kita dalam bab ini adalah orang-orang yang termasuk dalam kategori kedua dan ketiga dalam perumpamaan ini, karena keduanya lebih berhubungan dengan topik pembahasan dalam studi ini.

Keselamatan: Apa yang Diperlukan?

Keselamatan: Apa yang Diperlukan?



Tak dapat dipungkiri, iman kepada Yesus Kristus yang bangkit sebagai Tuhan, Mesias, Anak Allah adalah satu-satunya cara agar manusia diselamatkan. Ini sangat jelas dinyatakan dalam banyak bagian Firman Allah. Berikut ini beberapa di antaranya:
Yohanes 3:14-18
Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.”
Yohanes 20:30-31
“Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”
Yohanes 11:25-26
“Jawab Yesus: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.”
Markus 16:15-16
“Lalu Ia berkata kepada mereka: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.”
Kisah Para Rasul 16:30-31
“Ia mengantar mereka [Paulus dan Silas] ke luar, sambil berkata: "Tuan-tuan, apakah yang harus aku perbuat, supaya aku selamat?" Jawab mereka [Paulus dan Silas]: "Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu.”
Roma 10:9
“Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.”
Efesus 2:8
“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah”
Sebelum melanjutkan, saya ingin pertama-tama menunjukkan bahwa pernyataan “setiap orang yang percaya” dalam ayat-ayat di atas menggunakan bentuk waktu sekarang. Dengan kata lain, apa yang digambarkan di sini adalah iman yang aktif, yang berlangsung pada waktu sekarang, dan bukan peristiwa di masa lalu yang mungkin tidak lagi terjadi di masa kini. Terjemahan yang lebih akurat untuk pernyataan-pernyataan di atas adalah “setiap orang yang terus menerus percaya” atau percaya sekarang dan terus menerus percaya. Terjemahan ini lebih sesuai dengan fakta bahwa keterangan waktu sekarang dalam bahasa Yunani kuno dipergunakan untuk menunjukkan makna durasi dan bukan peristiwa yang terjadi pada suatu ketika. Lampiran pertama dari buku ini menyajikan wawasan yang lebih mendalam tentang hal ini dan tentang penggunaan bentuk waktu sekarang dalam bahasa Yunani kuno.
Kembali ke subjek pembahasan kita: dari ayat-ayat yang kami berikan di atas (dan masih banyak ayat lain), jelaslah bahwa kita tidak diselamatkan oleh karena melakukan Hukum Taurat atau karena melakukan perbuatan baik. Keselamatan diberikan secara gratis, karena kasih karunia, sebagai anugerah bagi setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhannya, sebagai Mesias, sebagai Anak Allah. Ini adalah kebenaran Firman Allah yang tidak bisa dibantah. Jadi, iman adalah kunci untuk memperoleh keselamatan bersama dengan kasih karunia sebagai kunci lainnya. Efesus 2:8 meringkas ini dengan baik sekali.
Efesus 2:8
“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah”
Ada dua komponen yang ketika digabungkan membuat kita memperoleh keselamatan. Kedua komponen ini adalah kasih karunia dan iman. Hanya salah satu saja dari kedua komponen itu tidak dapat memberi kita keselamatan. Kasih karunia Allah saja tidak dapat menyelamatkan seseorang apabila orang itu tidak memiliki iman, atau apabila orang itu tidak dengan sunguh-sungguh dan jujur percaya dari dasar hatinya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhannya, sebagai Anak Allah dan Mesias.
Pada dasarnya Allah ingin semua orang diselamatkan dan Ia telah menyerahkan Anak-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia. Sebagaimana 1 Timotius 2:3-6 katakan:
“Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran
“Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia: itu kesaksian pada waktu yang ditentukan.”
Juga Titus 2:11
“Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata.”
Yesus Kristus menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia! Allah ingin semua orang diselamatkan. Kasih karunia-Nya yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. Kasih karunia Allah – yaitu bagian pertama syarat keselamatan dalam Efesus 2:8 (“karena kasih karunia”) – tersedia bagi semua orang; kasih karunia itu “sudah nyata bagi semua manusia”. Tetapi bagian yang kedua (“olehiman”) tidak dilakukan oleh semua orang. Hanya orang yang sungguh-sungguh percaya pada apa yang Allah katakan dalam Firman-Nya tentang Anak-Nya, hanya orang-orang inilah yang akan diselamatkan, karena keselamatan bukan hanya karena kasih karunia tetapi “karena kasih karunia oleh iman”.
Setelah menjelaskan poin ini, pertanyaan yang sangat penting adalah: begitu seseorang percaya, apakah iman merupakan sesuatu yang dijamin akan bertahan selamanya atau apakah iman harus dipelihara, yang artinya iman itu juga dapat ditinggalkan? Bagaimana Alkitab memperlakukan iman? Apakah menurut Alkitab iman adalah sesuatu yang dinamis ataukah sesuatu yang statis, yang artinya begitu kita memilikinya, kita akan selalu memilikinya? Apa artinya memiliki iman yang benar? Apa yang terjadi dengan keselamatan, seandainya iman ditinggalkan? Dapatkah iman ditinggalkan, bila dapat, apa konsekuensinya? Banyak orang tidak mau repot-report memikirkan tentang pertanyaan-pertanyaan ini. Dalam studi ini, kita akan memikirkan tentang pertanyaan-pertanyaan di atas dan melihat jawaban yang begitu jelas dan sederhana yang Alkitab berikan, pertama-tama melalui orang yang paling tepat untuk berbicara tentang keselamatan: Sang Juruselamat Sendiri, dan dilanjutkan dengan melihat pengajaran para rasul, yang dituliskan melalui surat-surat mereka.

Wednesday, June 21, 2017

Siapa yang Harus Kita Andalkan?

Siapa yang Harus Kita Andalkan?

115144_ahoksenyumGubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam beberapa kali kesempatan menyampaikan bahwa sebagai seorang yang dipercaya memimpin kota sebesar Jakarta ia akan menjalankan seluruh tugasnya dengan taat pada konstitusi bukan pada konstituen. Konstitusi menurut KBBI adalah: segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan; undang-undang dasar suatu negara. Sementara konstituen menurut KBBI adalah: bagian yang penting; unsur bahasa yang merupakan bagian dari satuan yang lebih besar; bagian dari atau pendukung konstruksi. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa Ahok mengutamakan dasar atau bagian utama atau fondasi dalam sistem yang lebih besar (baca: undang-undang atau aturan ketatanegaraan) daripada mengutamakan bagian atau kepentingan pendukung yang lebih kecil (organisasi atau elit tertentu).
Melalui sikap ketaatan pada konstitusi tersebut Ahok akhirnya sering beradu argumen dengan kelompok-kelompok tertentu ketika mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan orang banyak. Sebutlah misalnya ketika ditegaskan aturan bahwa tidak diperbolehkan berjualan di trotoar dan badan jalan karena mengganggu pejalan kaki, lalu lintas, dan kepentingan umum lain yang lebih besar, ada kelompok-kelompok tertentu yang tidak terima karena efeknya pendapatan mereka dari parkir, uang keamanan dan sewa tempat akan hilang. Namun Ahok dan jajarannya tetap jalan terus karena prinsipnya aturan tersebut adalah bagian dari konstitusi yang harus ditegakkan. Sederhananya berdagang ada tempatnya, bukan di trotoar. Dengan terus melakukan penertiban ada hal yang lebih besar yang ingin dilakukan dan lebih bermanfaat bagi masyarakat banyak. Misalnya dengan memindahkan pedagang ke tempat yang lebih memadai ketimbang berjualan di trotoar atau badan jalan pedagang akan lebih tertata, administrasi dibuat dengan jelas tanpa ada pungutan liar yang hanya menguntungkan pihak tertentu, lingkungan menjadi lebih sehat, lalu lintas lebih lancar, dan banyak hal positif lain tentunya.
Konstitusi selalu menjadi andalan Ahok, dan tidak ada ketakutan menghadapi kelompok (konstituen) yang tidak menyukainya karena keyakinannya bahwa apa yang dilakukannya adalah yang benar. Ketika dia melakukan yang benar maka dukungan kepadanya akan mengalir.
Seandainya Ahok tidak taat dan tidak mengandalkan konstitusi apa yang akan terjadi? Bisa saja dia akan terjebak dalam pusaran kepentingan kelompok tertentu. Efeknya orang akan tetap berjualan di trotoar dan akan terus mengganggu pejalan kaki, membiarkan kemacetan terus terjadi, membiarkan keadaan semrawut dengan parkir liar yang bertebaran di jalanan, membiarkan oknum-oknum tertentu hanya mengeruk keuntungan, sementara kerugian masyarakat umum lain sangat besar. Dia akan dikenang sebagai Gubernur yang tidak inovatif sama sekali karena tidak ada perubahan selama masa kepemimpinannya.
Pada Yeremia 17:7-8 tertulis: (7) Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! (8) Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.
Sebagai pengikut Kristus tentunya Alkitab (Sabda TUHAN) adalah dasar, pedoman, tatanan dalam menjalani hidup, menjadi andalan dalam setiap aspek kehidupan. Selama Sabda TUHAN menjadi andalan dan harapan, bukan tidak mungkin berkat akan didapatkan (ay. 7). Analogi pohon di ayat 8 sangat baik untuk menguatkan bahwa Sabda TUHAN adalah andalan. Bayangkan jika pohon tersebut ditanam ditanam di tanah kering, gersang dan berbatu, ke mana ia akan merambatkan akarnya? Bagaimana dia bisa berlindung dari terik matahari? Mungkinkah daunnya akan tumbuh hijau? Bisakah ia berbuah? Jangan-jangan pohon itu tidak akan sempat berbuah karena daunnya tidak sempat tumbuh, kalaupun tumbuh hanya sedikit dan tidak hijau atau cepat layu. Bagaimana mungkin bisa menumbuhkan daun jika akarnya pun tidak bisa tumbuh dan merambat dengan baik, terhalang batu dan kekurangan atau bahkan tidak ada air. Bagaimana mungkin bisa bertahan dari terik matahari jika daunnya sedikit dan kekurangan air, yang ada daunnya akan cepat kering, layu kemudian mati. Pohon itu akhirnya tidak berguna, dibuang dan dilupakan.
Pun demikian dengan kita, ketika Sabda TUHAN tidak tertanam dalam hati kita lalu apa yang menjadi andalan kita? Saat kita terjebak dalam keinginan ragawi kita tanpa mengandalkan Sabda TUHAN akan menjadi apakah kita? [bks]

Demi Allah, Marilah Bertahan !

Demi Allah, Marilah Bertahan !

Pertandingan yang berat menjadi terasa ringan karena waktunya yang pendek. Film yang penuh dengan kesedihan juga terasa demikian karena alasan yang sama. Tetapi bagaimana dengan kehidupan? Dibandingkan dengan kedua hal di atas, kehidupan manusia jauhlah terasa lebih berat, panjang dan melelahkan.
Paulus, seorang yang berjuang bagi Allah hingga akhir, menyadari betul akan kenyataan ini. Sejak pertobatannya, hidup Paulus terasa berubah demikian drastis. Dari seorang pemangsa, ia berubah menjadi seorang yang dimangsa. Dari seorang pengejar, ia menjadi orang yang dikejar-kejar. Ketika masih menjadi seorang pembela Yahudi, dia hidup dengan segala penghormatan dan kenyamanan. Ia disegani, dihormati, dan mendapat segala yang baik dari orang-orang Yahudi yang mengikutnya.
paulusTetapi itu semua segera berubah ketika ia malah bertobat menjadi pengikut Kristus. Kenyamanan yang sebelumnya ia nikmati berubah menjadi ketakutan, demikian pula dengan kehormatan, menjadi rasa benci. Dari kitab Kisah Para Rasul, kita tahu bagaimana Paulus akhirnya harus berujung sebagai seorang tawanan di Roma. Dan dari surat-suratnya, kita juga tahu bagaimana perasaannya ketika mengalami semua peristiwa itu.
Ayat-ayat yang kita baca di atas adalah salah satu contoh bagaimana Paulus menggambarkan apa yang dialami setelah perubahan hidupnya. Ia mengalami ketelanjangan, kelaparan dan berbagai macam kesulitan lain. Lebih dari itu, yang mungkin paling menyakitkan bagi dia, adalah pemberontakan dari beberapa orang jemaat yang untuk merekalah sebenarnya Paulus menanggung semua penderitaannya itu. Dalam ayat 13 Paulus menggambarkan keadaannya secara begitu emosional: ‘kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama dengan kotoran dari segala sesuatu.’
Seperti kita, mengalami semua penderitaan seperti itu, juga tidak mudah bagi Paulus. Ini tidaklah seperti film yang akan berakhir dalam dua jam, dimana kita dapat berkata ‘ayo, jangan menyerah! Toh ini tidak akan berlangsung lebih dari dua jam!’ Atau seperti seorang pemain dalam sebuah pertandingan, dimana dia dapat terus memotivasi dirinya dengan berkata ‘ayo kerahkan segala kemampuanmu! Jangan menyerah! Bukankah ini hanya akan berlangsung beberapa menit lagi!’ Sama seperti hidup kita, perjuangan Paulus adalah perjalanan panjang yang di dalamnya seringkali muncul keluhan-keluhan: ‘kenapa begitu lama?’ ‘kapan ini akan berakhir?’ ‘oh, rasanya saya tidak kuat lagi.’
Namun toh demikian, kita tahu bahwa Paulus tidak pernah menyerah. Ia tahu benar bahwa semua itu pada akhirnya akan berujung pada kebahagiaan. Yaitu segala sukacita ketika nanti dia sudah dimuliakan bersama Tuhan. Dan karena itulah maka tidak ada kata lain selain ‘BAGI ALLAH HINGGA AKHIR.’ [th]

Integritas Utuh

Integritas Utuh

Edy, seorang calon karyawan sebuah perusahaan ternama, gagal ditetapkan menjadi karyawan penuh. Teman-temannya heran dengan keputusan akhir perusahaan atas Edy ini. Betapa tidak! Di mata mereka, Edy adalah sosok muda yang cerdas, pintar bergaul, tekun dalam kerja, dapat diandalkan, dan berkinerja baik. Singkatnya, Edy adalah sosok yang berprospek. Ternyata, di mata perusahaan, Edy yang sesungguhnya tidak seperti yang digambarkan teman-temannya. Betul bahwa secara kualitas kerja, Edy memenuhi syarat untuk diangkat menjadi karyawan penuh. Namun, ternyata ada sisi lain dari kehidupan Edy yang terendus oleh pimpinan perusahaan. Edy lemah dalam urusan pertanggungjawaban keuangan. Inilah sisi lain yang kemudian memupus harapan Edy untuk dapat terus berkarier di perusahaan itu. Sosok baik si Edy ternyata tidak utuh. Ada celah yang mencoreng semua kesan ‘baik’ tentang dirinya dari teman-temannya. ‘Nila setitik merusak susu sebelanga’. Kita jadi ingat sebuah kata mutiara warisan orang tua kita: ‘Nila setitik merusak susu sebelanga’. Hanya karena satu kelemahan, runtuhlah semua kesan kuat tentang diri seseorang. Sungguh disayangkan. Rasanya bukan hanya Edy seorang yang mengalami kenyataan begini di dunia ini. Ada banyak cerita tentang kegagalan seseorang mengorbit ke posisi yang lebih tinggi atau bahkan kegagagalan seseorang bertahan di posisi empuk yang sedang dia duduki. Selidik punya selidik, ternyata sumbernya adalah bahwa integritas orang-orang itu tidak utuh.
Tidak demikian halnya dengan sosok Yusuf, anak Yakub, sebagaimana dikisahkan dalam Kej. 39. Di sana ia ditampilkan sebagai orang yang mampu mempertahankan integritasnya. Kinerjanya di dalam rumah majikannya (Potifar) tidak ada celahnya. Ia melakukan semua yang menjadi tanggung jawabnya dengan maksimal. Ia adalah ‘pelayan berintegritas’. Dan integritasnya itu terbukti utuh ketika ia mampu menghalau bujuk rayu sang istri majikan yang terpikat dengan penampilan lahiriah Yusuf yang mumpuni: muda, tampan, dan rajin. Ternyata, di dalam diri Yusuf bukan hanya ada 3 sifat ini. Ia punya yang keempat: menerapkan apa yang ia tahu benar dan salah. Integritasnya utuh. Dan itulah, sebabnya, dalam episode-episode selanjutnya diceritakan tentang kariernya yang terus meningkat karena ia diterima, dihargai, dan dianggap layak. Bagaimana dengan kita …? [wk]